Banyuwangi | DetakIndo.com – Di sebuah media sosial Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia (PMII) cabang Banyuwangi postingan itu datang tiba-tiba: “penutupan calon Ketua PC ditutup pukul 17.00.” Padahal, dalam flyer resmi panitia yang beredar beberapa hari sebelumnya, tertulis jelas bahwa masa pendaftaran berlangsung sampai 3 November 2025—tanpa keterangan waktu. Diposting kurang lebih sekitar jam 20.00 Wib 3 November 2025.
Ketertutupan dalam Organisasi yang Mengaku Terbuka
Namun, kejanggalan tidak berhenti pada jadwal penutupan. Fahmi, salah satu kader yang hendak mendaftar sebagai calon ketua, datang ke lokasi pendaftaran sekitar pukul 16.00 WIB—sesuai jadwal yang ia pahami dari flyer resmi panitia. Tapi yang ia temui bukanlah meja pendaftaran atau panitia yang siap menerima berkas, melainkan ruangan kosong.
Ia menunggu. Lima belas menit berlalu, lalu setengah jam, hingga waktu menunjuk pukul 17.00 lewat, barulah beberapa panitia datang ke lokasi. Namun alih-alih menerima berkasnya, mereka justru menyatakan bahwa pendaftaran telah ditutup.
Peristiwa itu menimbulkan tanda tanya di kalangan kader lain. Mereka menilai, cara panitia menutup pendaftaran secara tiba-tiba tanpa pemberitahuan waktu yang jelas mencerminkan minimnya transparansi dan profesionalitas dalam proses organisasi.
Dari Ruang Belajar ke Ruang Politik Tertutup
Dalam teorinya, organisasi mahasiswa seperti PMII bukan sekadar wadah berkumpul, tetapi juga laboratorium sosial tempat kader belajar tentang keterbukaan, tanggung jawab, dan partisipasi. Tapi dalam praktiknya, banyak cabang terjebak dalam pola patronase dan politik internal yang kerap menyerupai organisasi politik dewasa.
Menurut teori komunikasi organisasi, struktur yang tertutup menciptakan asymmetric information—ketidakseimbangan informasi antara pengurus dan anggota. “Begitu ruang komunikasi disempitkan, yang lahir bukan lagi kader kritis, tapi kader pragmatis,” ujar Fani, ketua Kopri PC PMII Banyuwangi.
Fenomena ini memperlihatkan kontradiksi yang tajam: organisasi yang mengusung nilai transformatif justru terjebak dalam praktik transaksional. Pendaftaran ketua yang mestinya menjadi momentum pembelajaran demokrasi berubah menjadi arena kecil penuh intrik.
Demokrasi yang Dikebiri
Salah satu kader, menyebut fenomena ini sebagai “gejala klasik organisasi mapan.” Dalam setiap organisasi mahasiswa, kata dia, selalu muncul tarik-menarik antara nilai pendidikan dan kepentingan politik. “Ketika yang menang adalah kepentingan, maka demokrasi internal dikorbankan,” ujarnya.
Menurutnya, keputusan panitia yang menutup pendaftaran secara mendadak mencerminkan defisit transparansi. Dalam teori akuntabilitas organisasi, setiap perubahan kebijakan yang berdampak pada hak anggota—termasuk hak mendaftar—harus dikomunikasikan secara terbuka dan terdokumentasi.
“Begitu aturan berubah mendadak tanpa dasar tertulis, maka legitimasi prosesnya runtuh,” ujar kader tersebut.
Akhir yang Belum Selesai
Sampai berita ini ditulis, panitia pendaftaran belum memberikan keterangan resmi terkait alasan penutupan mendadak itu. Sebagian anggota cabang mendesak agar proses dibuka kembali atau minimal dijelaskan secara transparan. Namun di ruang-ruang obrolan kader, nada pesimistis mulai terdengar. “Mungkin memang sudah diatur begitu,” ujar seorang kader senior lirih.
Di atas kertas, PMII adalah organisasi kaderisasi yang menjunjung nilai-nilai keilmuan dan kebebasan berpikir. Tapi di lapangan, pendaftarannya yang tertutup justru menjadi simbol ruang gelap demokrasi yang terus berulang.
Oleh: Kader PMII Banyuwangi

					




